Tugas Hukum
Dan HAM
Pelanggaran
HAM Pada Tahun 1959 - 1965
Disusun
oleh:
Izmed Bayu H (8111413243)
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hak asasi merupakan hak yang
bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan
agar warga negara dapat hidup sesuai dengan kemanusiaannya. Hak asasi manusia
melingkupi antara lain hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kecukupan
pangan, hak atas rasa aman, hak atas penghidupan dan pekerjaan, hak atas
hidup yang sehat serta hak-hak lainnya sebagaimana tercantum dalam Deklarasi
Hak Asasi Manusia Tahun 1948. Penghormatan terhadap hukum dan hak asasi manusia
merupakan suatu keharusan dan tidak perlu ada tekanan dari pihak manapun
untuk melaksanakannya. Pembangunan bangsa dan negara pada dasarnya juga
ditujukan untuk memenuhi hak-hak asasi warga negara. Hak asasi tidak sebatas
pada kebebasan berpendapat ataupun berorganisasi, tetapi juga menyangkut
pemenuhan hak atas keyakinan, hak atas pangan, pekerjaan, pendidikan,
kesehatan, rasa aman, penghidupan yang layak, dan lain-lain. Hal tersebut tidak
hanya merupakan tugas Negar / pemerintah tetapi juga seluruh warga negara untuk
memastikan bahwa hak tersebut dapat dipenuhi secara konsisten dan
berkesinambungan. Hak Asasi Manusia merupakan unsur
normatif yang melekat pada diri setiap manusia sejak manusia masih dalam
kandungan sampai akhir kematiannya sebagai anugrah Tuhan. Di dalamnya tidak
jarang menimbulkan gesekan-gesekan antar individu dalam upaya pemenuhan HAM
pada dirinya sendiri. Hal inilah yang kemudian bisa memunculkan pelanggaran HAM
seorang individu terhadap individu lain, kelompok terhadap individu, ataupun
sebaliknya. (Kumalasari, 2013)
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian HAM dan pelanggaran
HAM?
2.
Apa saja ciri-ciri HAM?
3.
Apa sajaKlasifikasi pelanggaran HAM?
4.
Apa saja hambatan dan tantangan dalam penegakan HAM
pada tahun 1959 – 1965?
5.
Seperti apa aturan yang mengatur penegakan HAM di
Indonesia?
6.
Apa saja contoh kasus pelanggaran HAM yang
terjadi di Indonesia pada tahun 1959 - 1965
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian HAM
dan Pelanggaran HAM
Istilah HAM yang dikenal di Barat
ialah Right of Men. Istilah “Right of Men” yang menggantikan istilah
“Natural Right”. Istilah Right of Men ternyata tidak secara
otomatis mengakomodasi pengertian yang mencakup Right of Women. Oleh karena itu, istilah Right of Men diganti dengan istilah Human Rights oleh Eleanor Roosevelt karena dipandang lebih netral
dan universal. (Argarini, 2012)
Berikut ini
pengertian HAM menurut beberapa pendapat para ahli :
·
Jan Materson
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang secara inhern
melekat dalam diri manusia. Tanpa hak itu manusia tidak dapat hidup sebagai
manusia.
·
John Locke
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan
langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.
·
TAP MPR NO. XVII/MPR/1998
Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang
melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa, dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup,
kemerdekaan, perkembangan manusia, dan masyarakat yang tidak boleh diabaikan,
dirampas, atau diganggu gugat oleh siapapun.
·
UU No. 39 Tahun 1999
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
·
Koentjoro Poerbapranoto
Hak Asasi adalah hak yang bersifat asasi. Hak asasi
merupakan hak yang dimiliki oleh manusia menurut kodratnya yang tidak dapat
dipisahkan dari hakikatnya sehingga bersifat suci.
Menurut Pasal 1 Angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud
dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun
tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang
yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak
akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.
Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM,
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk
aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Dengan
demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik
dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya
terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan
rasional yang menjadi pijakannya.
2.
Ciri – Ciri
Hak Asasi Manusia
Berdasarkan
beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri
pokok HAM, yaitu:
a. Hak asasi
manusia tidak diberikan, dibeli ataupun diwarisi. Hak asasi manusia adalah
bagian dari individu secara otomatis.
b. Hak asasi
manusia berlaku untuk semua individu, tanpa memandang jenis kelamin, ras,
agama, etnis, pandangan politik, asal-usul sosial, dan bangsa.
c. Hak asasi
manusia tidak dapat dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi
atau melanggar hak individu lain. Seorang individu tetap mempunyai hak asasi
manusia walaupun sebuah membuat hukum yang tidak melindungi hak asasi manusia. (Argarini, 2012)
3.
Klasifikasi Pelanggaran
HAM
Pelanggaran HAM dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :
a.
Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
·
Pembunuhan massal (genosida)
Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan
maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, etnis, dan agama dengan cara melakukan tindakan kekerasan. (UUD No.26/2000 Tentang
Pengadilan HAM).
·
Kejahatan Kemanusiaan
Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang
dilakukan berupa serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk
sipil seperti pengusiran penduduk secara paksa, pembunuhan,penyiksaan,
perbudakkan dll.
b.
Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
·
Pemukulan
·
Penganiayaan
·
Pencemaran nama baik
·
Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
·
Menghilangkan nyawa orang lain
(xpectancy.wordpress.com, 2014)
4.
Hambatan dan
Tantangan Dalam Penegakan HAM pada Tahun 1959 – 1965?
Dalam
masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), telah terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945
untuk kepentingan penguasa. Pada periode ini, sistem pemerintahan yang berlaku
adalah sistem demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin lahir sebagai reaksi
atas penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini,
kekuasaan terpusat dan berada di tangan Presiden. Akibat dari sistem demokrasi
terpimpin, presiden melakukan tindakan inkonstitusional, baik pada tataran
suprastruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur politik. Pada periode
ini terjadi pemasungan terhadap hak sipil dan hak politik, seperti hak untuk
berserikat berkumpul dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan. (Argarini, 2012)
5.
Peraturan
Mengenai Penegakan HAM di Indonesia
Secara normatif, penegakkan HAM di
Indonesia mengacu dalam peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan
perundang-undangan RI terdapat empat bentuk hukum tertulis yang memuat aturan
tentang HAM, yaitu.
a. Undang-undang
Dasar Negara (UUD 1945).
b. Ketetapan
MPR (TAP MPR).
c. Undanag-undang.
d. Peraturan
pelaksanaan perundang-undangan, seperti peraturan pemerintah, keputusan
presiden, dan peraturan pelaksana lainnya.
Peraturan HAM dalam Ketetapan MPR dapat dilihat dalam
TAP MPR Nomor XVII Tahun 1998 tentang Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia
terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional serta TAP MPR Nomor VIII/MPR/2000 tentang
Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2000. Pengaturan HAM juga dapat
dilihat dalam berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah yang pernah
dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Undanag-undang dan peraturan pemerintah
tersebut antara lain:
Undang-Undang
|
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi
Konvensi Anti Penyiksaan, Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak
Manusiawi, dan Merendahkan Martabat.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
|
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tantang Kebebasan
Menyatakan Pendapat
|
Undang-Undang Nomor 19 Tahhun 1999 tentang
Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penghapusan Kerja secara Paksa.
|
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi
Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia
Minimum bagi pekerja.
|
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Ratifikasi
Konvensi ILO tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan.
|
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi.
|
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi
Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi.
|
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
|
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
|
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan
HAM.
|
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi.
|
Peraturan
Pemerintah dan Keputusan Presiden
|
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Nomor 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM.
|
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 181 tahun 1998
tentang Pendirian Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Wanita.
|
Keputusan Presiden nomor 129 tentang Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia tahun 1998-2003 yang memuat rencana ratifikasi
berbagai instrument hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-bangsa serta
berbagai tindak lanjutnya.
|
Keppres Nomor 31 tahun 2001 tentang Pembentukkan
Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan
Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Makasar.
|
Keputusan Presiden (Keppres) nomor 5 tahun 2001
tentang Pembentukkan Pengadilan Hak Asasi Manusia AdHoc pada Pengadilan Negeri
Jakarta PUsat, yang diubah dengan Keppres nomor 96 tahun 2001.
|
6.
Contoh Kasus
Pelanggaran HAM yang Terjadi Pada Tahun 1959 – 1965
a. Peristiwa di Maumere (1965 – 1966)
Peristiwa
1965-1966 terjadi di berbagai wilayah Indonesia termasuk Pantai Wairita
Maumere. Bahwa saksi merupakan orang yang melihat adanya serangkaian peristiwa
ditempat-tempat tertentu yang masih masuk dalam wilayah Maumere. Saksi
diperintahkan oleh para pelaku untuk menggali lobang bagi korban-korban yang
sudah dibunuh. Korban merupakan penduduk sipil berjumlah setidaknya 15 orang
yang diidentifikasi oleh pelaku sebagai anggota, pengurus atau simpatisan PKI.
Peristiwa pembunuhan yang terjadi di Polsek Gelinting, bahwa saksi
memperkirakan korban meninggal mencapai
500 orang yang dibunuh oleh para pelaku. Pembunuhan di Kampung Flores
Timur, bahwa saksi adalah orang yang melihat peristiwa telah terjadinya
pembunuhan disatu tempat yang masuk kedalam wilayah Maumere. Orang–orang yang
dibawa menggunakan kendaraan tersebut terikat tangannya dan kemudian diturunkan
dari kendaraan dibawa menuju pinggir lubang yang telah disiapkan. Jumlah orang
yang pada saat itu dibawa adalah sekitar 84 orang, dengan rincian 36 orang yang
berasal dari penjara dan ada juga yang berasal dari penangkapan
digunung-gunung. Didalam wilayah Maumere, juga terjadi peristiwa pembunuhan
yang terjadi di Polsek Gelinting. Bahwa berdasarkan keterangan saksi,
setidak-tidaknya terdapat korban lebih dari satu orang meninggal dunia. Bahwa
saksi memperkirakan korban meninggal mencapai 500 orang, yang di bunuh oleh
para pelaku. Para saksi yang memberikan keterangan adalah saksi-saksi yang
mengalami langsung penyiksaan yang dilakukan oleh para pelaku di LP Pekambingan
dalam masa penahanan mereka. Selain mengalami langsung penyiksaan, sebagian
saksi juga melihat para pelaku melakukan penyiksaan terhadap para korban yang
lain. Berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam penyelidikan di Sumatera
Selatan diduga terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk penghilangan
secara paksa terhadap para korban yang diduga terlibat kelompok Gerakan 30
September 1965 (G30S), dimulai sejak bulan Oktober 1965, di Sumatera Selatan,
para Korban ada yang hilang di tengah perjalanan, di penahanan sementara
sebelum dikirim ke penahanan akhir yaitu Kamp Penahanan Pulau
Kemarau-Palembang, pada sekitar bulan Februari 1966 sampai pada tahun 1979.
Tiap malam ada belasan orang yang meninggal, mayat-mayatnya dibuang ke sungai musi
dalam keadaan diikat dengan kawat duri dan ditumpuk di atas besi setelah itu
dibawa dengan kapal motor dan dibuang di sungai Musi. Saksi mengetahui hal ini
karena saksi diperintahkan untuk membuang mayat. Berdasarkan keterangan saksi,
bahwa hilangnya terhadap kurang lebih 30.000 orang di Sumatera Selatan tanpa
proses hukum. (Dokumentasi Pelanggaran HAM di Indonesia, 2013)
b. Peristiwa di LP Perkambingan
Denpasar
LP
Pekambingan merupakan sentral penahanan orang-orang yang dianggap terlibat dan
mengetahui rencana peristiwa tanggal 1 Oktober 1965, LP ini berisi tahanan
politik, kriminal, maupun militer bahkan perempuan.Blok B dikhususkan untuk
perempuan. Sementara Blok A,C,D, itu untuk tahanan politik, kriminal, maupun
eks militer. Sebagaimana keterangan para saksi bahwa LP Pekambingan ini
merupakan pusat penahanan orang-orang yang diduga terlibat Peristiwa G 30 S,
hal ini dapat dilihat dari keterangan saksi yang menunjuk LP Pekambingan. Para
saksi yang memberikan keterangan dibawah adalah saksi-saksi yang mengalami
langsung penyiksaan yang dilakukan oleh para pelaku di LP Pekambingan dalam
masa penahanan mereka. Selain mengalami langsung penyiksaan, sebagian saksi
juga melihat para pelaku melakukan penyiksaan terhadap para korban yang lain.
Penyiksaan dalam peristiwa yang terjadi di LP Pekambingan, Denpasar, Bali
terjadi dalam kurun waktu pada akhir tahun 1965 sampai dengan 1977. (Dokumentasi Pelanggaran HAM di Indonesia, 2013)
c. Kasus Tragedi Berdarah di Indonesia
Setelah
terjadinya prahara 30 September 1965, TNI AD di bawah pimpinan Soeharto, segera
melakukan penumpasan terhadap mereka yang tuduh sebagai anggota PKI. Pihak yang
dituduh bertanggungjawab dalam peristiwa 30 September. Dalam peristiwa ini,
beragam bentuk pelanggaran hak asasi manusia terjadi, dari mulai penculikan,
penghilangan orang secara paksa, kerja paksa, penghukuman tanpa pengadilan, dan
pembantaian massal dimana korban sebagian besar merupakan anggota PKI, atau
ormas yang dianggap berafiliasi dengannya seperti SOBSI, BTI, Gerwani, PR,
Lekra, dll. Namun demikian, pada kenyataannya di lapangan, tidak hanya mereka
yang berafiliasi dengan PKI, masyarakat pada umumnya juga banyak yang menjadi
korban operasi ini. Peristiwa ini terjadi hampir merata di seluruh wilayah
Indonesia. (Dokumentasi Pelanggaran HAM di Indonesia, 2013)
d. Kasus Paraku / PGRS 1960 -1967
Peristiwa
ini bermula pada tahun 1960an dimana Presiden Soekarno menyatakan konfrontasi
tehadap bonekanya Inggris yaitu Malaysia. Kemudian soekarno menugaskan Oei Tjoe
Tat untuk mengalang sukarelawan /milisi Thionghoa di perbatasan Kalimantan
Barat dan Serawak, Sukarelawan yang tergabung kebanyakan dari etnis Thionghoa,
sebelumnya pembentukan ini ada 4 kelompok yang terdiri dari PKI, Sukarelawan,
TNKU (PARAKU), serta 12 pemuda Thionghoa pendukung partai Komunis Sarawak
(PGRS). Kemudian PGRS dan PARAKU menyatu menjadi PGRS/PARAKU, selanjutnya
mereka menyerang lapangan udara di Singkawang dan Sanggau Ledo, dan berhasil
merebut 150 senjata dari militer. TNI kemudian menyapu bersih mereka dengan
operasi Sapu I, Sapu II, Sapu III. Operasi militer ini untuk menumpas
PGRS/PARAKU dan PKI yang tergabung dalam etnis Thionghoa di Kalimantan Barat,
dan akibatnya orang-orang Thionghoa yang tidak tahu menahu permasalahan politik
di Kalimantan Barat banyak juga yang menjadi korban akan peristiwa ini. Bahkan
beberapa pihak menengarai dalam peristiwa ini juga terjadi pembersihan etnis
(ethnic cleansing), terhadap etnis Tionghoa di pedalaman Kalimantan. (Dokumentasi Pelanggaran HAM di Indonesia, 2013)
e. Kasus – Kasus di Papua
Pada tahun
1960an, kasus-kasus di Papua telah memakan ribuan korban jiwa. Peristiwa ini
terjadi akibat Operasi instensif yang dilakukan TNI untuk menghadapi Organisasi
Papua Merdeka (OPM). Sebagian lagi berkaitan dengan masalah penguasaan sumber
daya alam antar perusahaan tambang internasional, aparat pemerintah menghadapi
warga sipil. Perilaku Aparat militer Indonesia terhadap
penduduk lokal di Papua dinilai menciderai hak asasi manusia, walupun dengan
alasan pengendalian keamanan dan separatisme. Dalam kasus Abepura misalnya,
Kesatuan Brimob Polda Papua menangkap dan melakukan penyiksaan terhadap
mahasiswa yang dianggap mendukung penyerangan terhadap Mapolsek Abepura. (Dokumentasi Pelanggaran HAM di Indonesia, 2013)
f. Peristiwa pemberontakan PKI
Gerakan
pemberontakan PKI pada tanggal 30 September 1965 atau dikenal dengan Gerakan 30
September (G30 S/PKI) merupakan peristiwa Partai Komunis Indonesia (PKI) yang
pada saat itu akan melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Soekarno dan
berencana menjadikan Indonesia menjadi negara komunis. Kudeta yang akan
dilakukan PKI saat itu memakan korban 7 orang jendral dikalangan angkatan darat
di Jakarta dan dua orang di Yogyakarta. Peristiwa 1965, Sebuah Tragedi
kemanusiaan dalam sejarah bangsa, kita tidak pernah tahu bahwa
sesungguhnya peristiwa 1965 tidak hanya menimbulkan korban dari kalangan
Angkatan Darat (AD) tapi juga ribuan rakyat sipil yang tidak tahu menahu
mengenai peristiwa tersebut karena dianggap terkait dengan PKI. Mereka yang
haknya dirampas, dianiaya, dilecehkan, diperkosa, di buang, diasingkan, di
anggap bukan manusia, dan berbagai macam perlakuan yang dapat disebut
sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM). (Kumalasari, 2013)
g. Peristiwa Gandhi Medan
Bahwa saksi menerangkan
di Gandhi adanya penganiayaan dalam bentuk pencambukan, tendangan, pukulan
menggunakan pentungan, setrum, dan lain-lain sehingga ada beberapa tahanan yang
mati akibat siksaan. Hal ini terjadi baik di Gandhi maupun di Penjara Suka
Mulia. (Dokumentasi Pelanggaran HAM di Indonesia, 2013)
h. Peristiwa Pulau Buru Maluku (1965)
Berdasarkan
keterangan para saksi yang pernah di penjara di Pulau Buru akibat peristiwa
1965, saksi dipekerjakan di Kantor Koramil selama 2 tahun 2 bulan, ada juga
saksi yang lainnya dipekerjakan membuat waduk Desa Padasan, diwilayah Tuban,
kemudian saksi dipindahkan dan dipekerjakan di Gudang Sawung Galing pabrik
semen Gresik selama 4 bulan 10 hari tanpa diberi gaji. Setelah bebas, saksi
dikenakan wajib lapor dan harus menyerahkan barang-barang yang diminta Pihak
koramil serta disuruh melakukan pekerjaan tanpa adagaji. Berdasarkan keterangan
saksi, Saksi dipekerjakan di kompleks perumahan CPM gilingan selama 1 tahun
tanpa ada gaji, diwajibkan mengikuti apel seminggu 3 kali dikecamatan dan
Koramil, dan juga dipekerjakan di kecamatan tanpa ada gaji, istri saksi juga
disuruh melayani orang yang dianggap sebagai pemenang, tidak harus tentara.
Hampir 90 persen semua istri tahanan di minta untuk melayani Berdasarkan
keterangan saksi, Saksi dipekerjakan di Desa kroyo, kec. Karang Malang, Sragen
untuk membantu mengerjakan sawah penduduk tanpa ada gaji selama 6 bulan dengan
penjagaan dari Koramil. Saksidipekerjaan di Toro untuk mengerjakan sambungan
bendungan selama 3 bulan. Setelah itu dipindahkan untuk memperbaiki jalan
selama 1 bulan. Saksi dipekerjaan membuat bendungan Karang Anom Sukadono selama
6 bulan tanpa dibayar. Saksi dipekerjakan mencari pasir antara Sumber Lawang –
Purwodadi selama 3 bulan. Saksi dipekerjakan membuat bata. Setiap pagi
dibangunkan untuk bekerja bakti mencari kayu bakar, setelah itu baru boleh
mandi disungai. Perbuatan tersebut dapat
dikategorikan kerja paksa, karena setiap pagi jam 7 s/d jam 18.00 sekitar 50
orang secara aplusan dikirim selama seminggu untuk bekerja di ladang, belakang
Pengadilan Negeri Medan, dan tidak itu saja saksi melakukan pekerjaan menggali
parit untuk perumahan projek septi tank/WC yang saksi tidak tahu projek siapa
dan diatur oleh Komandan Setempat Letnan II Ismanu, tidak dibayar hanya diberi
nasi bungkus. (Dokumentasi Pelanggaran HAM di Indonesia, 2013)
i. Peristiwa Tanah Karo
Tokoh
mahasiswa Martin Saragih, sejak kembali dari Kongres CGMI, dijemput POMDAM di
Medan pada awal Oktober 1965 juga hilang. Tokoh Gerwani Rumiati, Anuar Jampak,
Ranos Sembiring hilang. Sedikitnya 7 orang, ditembak dengan menggunakan senjata
pada pertengahan 1966 di Lau Gerbong, Tanah karo, Sumatera Utara. Pada Februari
1966 malam, petugas mengambil 3 orang teman satu tempat tahanan saksi yaitu M.
Noor, Sekretaris PKI CSS (Comite SubSeksi) PKI labuhan Deli; Effendi, anak
kandung M. Noor (Sekretaris PKI CSS (Comite Sub Seksi PKI Labuhan Deli),
Sekretaris Pemuda Rakyat cabang Labuhan Deli; dan, Efendi, Sekretaris Lekra,
Labuhan Deli. Ketiganya tidak pernah kembali lagi ke rumah tahanan. Saksi
mendengar ketiganya mati tertembak. Tempat penahanan itu adalah sebuah rumah di
dekat penjara Labuhan Deli yang sekarang dikenal sebagai Simpang Kantor. (Dokumentasi Pelanggaran HAM di Indonesia, 2013)
j. Kasus Menghilangnya Warga Sipil di
Kebar, Manokwari, Papua
Kasus
penghilangan paksa terjadi pada tanggal 26 juli 1965 serta 28 Juli 1965 di
Kecamatan Kebar, Manokwari, Papua serta di Manokwari, Papua. Korban
diperkirakan berjumlah 23 orang penduduk sipil. (Dokumentasi Pelanggaran HAM di Indonesia, 2013)
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki
oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar
HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa jangan pernah
melanggar atau menindas HAM orang lain. Dalam kehidupan bernegara HAM diatur
dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM
baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan
suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM
menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana
terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM. Penyelesaian masalah pelanggaran HAM
berat di masa lalu Menurut UU No. 26/2000, proses terbentuknya pengadilan
terdiri dari tiga bagian yang ideal. Pertama, Komnas HAM melakukan penyelidikan
berdasarkan pengaduan dari kelompok korban atau kelompok masyarakat tentang
satu kasus yang terjadi di masa lalu. Komnas HAM kemudian membentuk satu KPP
HAM untuk melakukan penyelidikan dan kemudian mengeluarkan rekomendasi. Jika
dalam rekomendasi tersebut terdapat bukti terhadap dugaan terjadinya kejahatan
terhadap kemanusiaan atau genosida, maka akan dilanjutkan pada tahap penuntutan
oleh Kejaksaan Agung. Kedua, DPR kemudian membahas hasil penyelidikan dari
Komnas HAM dan kemudian membuat rekomendasi kepada presiden untuk membentuk
pengadilan Ham ad-hoc. Ketiga, Presiden kemudian mengeluarkan keputusan
presiden untuk pembentukan satu pengadilan HAM ad-hoc.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs.
C.T.R.Kansil,SH. 1992. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta : Erlangga
Roosa, John, 2008. Dalih Pembunuhan Massal,
Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto.
Hasta Mitra. Jakarta