Tugas Hukum
Agraria
Sengketa
Pertanahan
Disusun
Oleh:
Izmed Bayu H
Izmed Bayu H
8111413243
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Tanah merupakan kebutuhan hidup
manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas
tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah. Hampir
semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu
memerlukan tanah, tidak terkecuali pada saat manusia meninggal dunia masih
memerlukan tanah untuk penguburannya. Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan
manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya.
Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam
masyarakat. Sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian antara 2 pihak
atau lebih yang salah 1 pihak melakukan wanprestasi. Tanah mempunyai peranan
yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam Undang-Undang Dasar 1945
pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita lihat dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA. Timbulnya sengketa hukum yang
bermula dari pengaduan pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan
tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun
kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) baru sebatas menandai dimulainya era baru
kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal berkembang menjadi kepemilikan
individual.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa Pengertian Sengketa Tanah?
2.
Apa saja Faktor Pendorong (penyebab) Sengketa lahan?
3.
Apa saja contoh kasus sengketa tanah?
4.
Bagaimana solusi penyelesaian sengketa lahan yang
dapat diberikan?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Sengketa
Tanah
Sengketa menurut kamus Bahasa
Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, konflik dapat terjadi karena
adanya pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok ataupun organisasi-organisasi.
Tanah dapat definisikan menurut ilmu pastinya adalah kumpulan tubuh alam yang
menduduki sebagian besar daratan planet bumi,yang mampu menumbuhkan berbagai
tanaman dan sebagai tempat makhluk hidup lainnya untuk melangsungkan kehidupan.
Dapat disimpulkan sengketa tanah merupakan perebutan hak atas kepemilikan tanah
yang jelas maupun karena kepemilikan tanah yang tidak jelas, dan sengketa tanah
terjadi karena ada sebuah kepentingan dan hak. Sengketa tanah banyak terjadi
karena adanya sebuah benturan kepentingan antara siapa dengan siapa. Adapun
arti lain dari Sengketa pertanahan, yaitu proses interaksi antara dua orang atau lebih atau
kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atau objek yang sama,
yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah seperti air,
tanaman, tambang juga udara yang berada dibatas tanah yang bersangkutan.
Penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut
sanglah bervariasi, yang antara lain:
·
Harga tanah yang meningkat dengan cepat.
·
Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan
kepentingan / haknya.
·
Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan
sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan
hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya
dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku.
2.
Faktor
Penyebab Sengketa Tanah
Ada tiga hal utama yang menyebabkan
terjadinya sengketa tanah,
a.
Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak
jelas, akibatnya adalah adanya tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki
sertifikat masing-masing.
b.
Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata.
Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah
pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara
ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya
petani atau penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi
tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan
liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik
masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
c.
Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata
didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas
tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat
dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya
dari para petani / pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan
begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan memandang sebelah
mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan
yang harus segera di carikan solusinya, karena sengketa tanah sangat berpotensi
terjadinya konflik antar ras, suku dan agama. Indonesia adalah Negara yang
berdasar hukum, maka semua aspek kehidupan bermasyarakat diatur oleh hukum yang
diwujudkan dalam peraturan perundang undangan. Masyarakat dalam suatu Negara
hukum akan menyelesaikan masalahnya dalam suatu lembaga peradilan yang diatur
khusus oleh undang undang. Begitu pula dengan pertanahan yang mempunyai
undang-undang politik agrarian (UUPA). Namun, sengketa tanah yang terjadi di
Indonesia tidak pernah berakhir, selalu ada permasahalan terkait masalah
kepemilikan tanah dan hak guna pakainya.
faktor utama
penyebab sengketa tanah adalah:
·
Luas tanah yang tersedia terbatas, tapi di sisi lain
kebutuhan akan tanahmeningkat sehingga nilai tanah lebih besar.
·
Masalah pengaturan, penguasaan, dan pemilikan yang
pengendaliannya belum efektif.
Kasus
konflik pertanahan seperti sengketa tanah hampir terjadi seluruh penjuru tanah
air indonesia. Setelah diusut dan diteliti semua kasus sengketa tanah yang
terjadi menunjukkan pola sengketa yang sebangun. Berbagai kasus pertanahan yang
menyangkut nasib ribuan warga itu pun dikenal memakan waktu lama dan terasa
menggetirkan dalam proses penyelesaiannya.
3.
Contoh Kasus
Sengketa Tanah
Berdasarkan data Badan Pertanahan
Nasional mencatat ada 2.810 kasus sengketa tanah yang berskala nasional yang
terjadi di Indonesia ini, maka boleh dibayangkan bagaimana hebatnya bom waktu
yang akan meledak jika kasus-kasus tersebut tidak segera mendapatkan penanganan
dan penyelesaian yang layak dan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Contoh
kasus : Sengketa tanah Meruya selatan (jakarta barat) antara warga (H. Djuhri
bin H. Geni, Yahya bin H.Geni, dan Muh.Yatim Tugono) dengan PT.Portanigra pada
tahun 1972 – 1973 dan pada putusanMA dimenangkan oleh PT. Portanigra. Tetapi
proses eksekusi tanah dilakukan baru tahun 2007 yang hak atas tanahnya sudah
milik warga sekarang tinggal di Meruya yang sudah mempunyai sertifikat tanah
asli seperti girik. Kasus sengketa tanah Meruya ini tidak luput dari
pemberitaan media hingga DPR pun turuntangan dalam masalah ini. Selama ini
warga Meruya yang menempati tanah Meruya sekarang tidak merasa punya sengketa
dengan pihak manapun. Bahkan tidak juga membeli tanah dari PTP ortanigra, namun
tiba-tiba saja kawasan itu yang ditempati hampir 5000 kepala keluarga atau sekitar
21.000 warga akan dieksekusi berdasarkan putusan MA.
Contoh lainya seperti : Sengketa
tanah Prokimal (proyek pemukiman TNI AL) meletus tahun 1998. Warga di sekitar
Prokimal sering menggelar unjuk rasa dengan cara memblokade jalur pantura
(pantai utara) untuk menuntut pembebasan lahan yang dianggap miliknya. Dari
catatan media Surya, dalam setahun terakhir terjadi dua kali pemblokiran jalan
pantura oleh warga, yakni 14 Desember 2006 dan 10 Januari 2007. Selain itu,
warga Desa Alas Telogo, Kecamatan Lekok, memilih menempuh jalur hukum dan
menggugat kepemilikan tanah itu ke Pengadilan Negeri (PN) Bangil, 18 Juli 2006
lalu.
4.
Solusi
Penyelesaian Sengketa Tanah
Pada hakikatnya, kasus pertanahan
merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan
antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan
perorangan, perorangan dengan badan hukum, badan hukum dengan badan hukum dan
lain sebagainya. Solusi penyelesaian sengketa tanah dapat ditempuh melalui cara
berikut ini :
A.
Solusi
melalui BPN
Kasus pertanahan itu timbul karena
adanya klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum)
yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara
di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut
dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan
adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi
dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk
itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha
Negara di bidang pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Kasus pertanahan meliputi
beberapa macam antara lain mengenai masalah status tanah, masalah kepemilikan,
masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat
yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan
pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian
ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih
lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan
Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan
Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana
kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian
kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur,
kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau
badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat
perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor
Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang
harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa.
Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional
tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri
No 16 tahun 1984. Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun
1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah
yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan
status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan
(CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126). Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat
hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara
di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah),
harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang
baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play),
asas persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan
pihak-pihak yang bersengketa. Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke
Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat
dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan
melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional
diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara
damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu,
bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula
disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para
pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian
dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Pembatalan keputusan tata usaha
negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan
adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya.
Yang menjadi dasar hukum kewenangan
pembatalan keputusan tersebut antara lain :
·
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
·
Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
·
Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003
tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
·
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
·
Dalam praktik selama ini terdapat
perorangan/ badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan
keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian
besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi yang bersangkutan.
B. Melalui Badan Peradilan
Apabila penyelesaian melalui musyawarah
di antara para pihak yang bersengketa tidak tercapai, demikian pula apabila
penyelesaian secara sepihak dari Kepala Badan Pertanahan Nasional tidak dapat
diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka penyelesaiannya harus melalui
pengadilan. Setelah melalui penelitian ternyata Keputusan Tata Usaha Negara
yang diterbitkan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional sudah benar menurut
hukum dan sesuai dengan prosedur yang berlaku, maka Kepala Badan Pertanahan
Nasional mengeluarkan suatu keputusan yang berisi menolak tuntutan pihak ketiga
yang berkeberatan atas Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan oleh
Pejabat Badan Pertanahan Nasional tersebut. Sebagai konsekuensi dari penolakan
tersebut berarti Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan tersebut
tetap benar dan sah walaupun ada pihak lain yang mengajukan ke pengadilan
setempat. Sementara menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,
dilarang bagi Pejabat Tata Usaha Negara yang terkait mengadakan mutasi atas
tanah yang bersangkutan (status quo). Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya
masalah di kemudian hari yang menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang
berperkara maupun pihak ketiga, maka kepada Pejabat Tata Usaha Negara di bidang
Pertanahan yang terkait harus menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik,
yaitu untuk melindungi semua pihak yang berkepentingan sambil menunggu adanya
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Kemudian apabila sudah ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang
pasti, maka Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat melalui Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan mengusulkan
permohonan pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan
yang telah diputuskan tersebut di atas. Permohonan tersebut harus dilengkapi
dengan laporan mengenai semua data yang menyangkut subjek dan beban yang ada di
atas tanah tersebut serta segala permasalahan yang ada. Kewenangan
administratif permohonan pembatalan suatu Surat Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah adalah menjadi kewenangan Kepala Badan
Pertanahan Nasional termasuk langkah-langkah kebijaksanaan yang akan diambil
berkenaan dengan adanya suatu putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan.
Semua ini agar diserahkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk
menimbang dan mengambil keputusan lebih lanjut. Di bidang pertanahan, belum ada
suatu peraturan perundang – undangan yang secara eksplisit memberikan dasar
hukum penerapan Alternatif Dispute Resolution (ADR). Namun, hal ini tidak dapat
dijadikan alasan untuk tidak menggunakan lembaga ADR di bidang pertanahan
berdasarkan 2 (dua) alasan, yaitu :Pertama, di dalam setiap sengketa perdata
yang diajukan di muka pengadilan, hakim selalu mengusulkan untuk penyelesaian
secara damai oleh para pihak (Pasal 130 HIR). Kedua, secara eksplisit cara
penyelesaian masalah berkenaan dengan bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam
kegiatan pengadaan tanah diupayakan melalui jalur musyawarah. Keputusan
Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, (“Keppres No.53 tahun 1993”) dan Peraturan
Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1994
yang merupakan peraturan pelaksanaan Keppres No. 55 tahun 1993, mengatur
tentang tata cara melakukan musyawarah secara cukup terinci. Dalam
perkembangannya, hal ini dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005
tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
(“Perpres No. 36 tahun 2005”) yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65
tahun 2006 yang telah dilengkapi dengan Peraturan Kepala BPN Nomor 3 tahun
2007. Dengan berlakunya Perpres No. 36 tahun 2005, maka Keppres No. 55 tahun
1993 dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan berjalannya waktu, penyelesaian sengketa
melalui ADR secara implisit dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006
tentang Badan Pertanahan Nasional (“BPN”). Dalam struktur organisasi BPN
dibentuk 1 (satu) kedeputian, yakni Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan
Sengketa dan Konflik Pertanahan (“Deputi”). BPN telah pula menerbitkan Petunjuk
Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan melalui Keputusan Kepala
BPN RI Nomor 34 tahun 2007. Dalam menjalankan tugasnya menangani sengketa
pertanahan, BPN melakukan upaya melalui mediasi sebagai cara penyelesaian
sengketa alternatif. Pembentukan Deputi tersebut menyiratkan 2 (dua) hal, yaitu
pertama, bahwa penyelesaian berbagai konflik dan sengketa pertanahan itu sudah
merupakan hal yang sangat mendesak sehingga diupayakan membentuk kedeputian
untuk penanganannya. Kedua, terdapat keyakinan bahwa tidak semua sengketa harus
diselesaikan melalui pengadilan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Di Zaman sekarang ini kebutuhan akan
tempat tinggal meningkat, sedangkan luas tanah terbatas, sehingga menyebabkan
nilai guna tanah penting sekali, apapun akan diusahan oleh pribadi manusia
untuk mendapatkan tanah yang strategis. Selain sebagai tempat untuk tinggal,
tanah juga digunakan sebagai tempat mengadakan aktivitas ekonomi, jalan untuk
kegiatan lalu lintas, perjanjian dan yang padaakhirnya sebagai tempat tinggal
masa depan (kuburan). Ada 2.810 kasus sengketa tanah yang berskala nasional
yang tercatat oleh Badan Pertanahan Nasional, terjadi di Indonesia ini, faktor
utama penyebab adalah:
·
Persoalan administrasi sertifikasi tanah
yang tidak jelas.
·
Distribusi kepemilikan tanah yang tidak
merata.
·
Legalitas kepemilikan tanah yang
semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan
produktivitas tanah. Sertifikat (tanah) merupakan tanda bukti hak yang berlaku,
apabila data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam
surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Kedudukan sertifikat ini
diatur dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Penyelesaian sengketa tanah dapat
dituntaskan dengan beberapa cara seperti:
·
Melalaui Badan Pertanahan Nasional
·
Melalui badan peradilan, bernegosiasi,
dan lain-lain tergantung para pelakunya mengarahkan ke arahmana jalan
penyelesaian yang baik menurutnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_SENGKETA TANAH
http://antokyudi78.blogspot.com/2013/05/makalah-sengketa-tanah-dalam-masyarakat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar