Jumat, 19 Desember 2014

Hukum Dan HAM - Pelanggaran HAM Pada Tahun 1959 - 1965

Tugas Hukum Dan HAM
Pelanggaran HAM Pada Tahun 1959 - 1965








Disusun oleh:

Izmed Bayu H                        (8111413243)





UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan agar warga negara dapat hidup sesuai dengan kemanusiaannya. Hak asasi manusia melingkupi antara lain hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kecukupan  pangan, hak atas rasa aman, hak atas penghidupan dan pekerjaan, hak atas hidup yang sehat serta hak-hak lainnya sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Tahun 1948. Penghormatan terhadap hukum dan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan dan tidak  perlu ada tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya. Pembangunan bangsa dan negara  pada dasarnya juga ditujukan untuk memenuhi hak-hak asasi warga negara. Hak asasi tidak sebatas pada kebebasan berpendapat ataupun berorganisasi, tetapi juga menyangkut pemenuhan hak atas keyakinan, hak atas pangan, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, rasa aman, penghidupan yang layak, dan lain-lain. Hal tersebut tidak hanya merupakan tugas Negar / pemerintah tetapi juga seluruh warga negara untuk memastikan bahwa hak tersebut dapat dipenuhi secara konsisten dan berkesinambungan. Hak Asasi Manusia merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia sejak manusia masih dalam kandungan sampai akhir kematiannya sebagai anugrah Tuhan. Di dalamnya tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan antar individu dalam upaya pemenuhan HAM pada dirinya sendiri. Hal inilah yang kemudian bisa memunculkan pelanggaran HAM seorang individu terhadap individu lain, kelompok terhadap individu, ataupun sebaliknya. (Kumalasari, 2013)


B.       RUMUSAN MASALAH
1.         Apa pengertian HAM dan pelanggaran HAM?
2.         Apa saja ciri-ciri HAM?
3.         Apa sajaKlasifikasi pelanggaran HAM?
4.         Apa saja hambatan dan tantangan dalam penegakan HAM pada tahun 1959 – 1965?
5.         Seperti apa aturan yang mengatur penegakan HAM di Indonesia?
6.         Apa saja contoh kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia pada tahun 1959 - 1965

















BAB II
PEMBAHASAN

1.        Pengertian HAM dan Pelanggaran HAM
Istilah HAM yang dikenal di Barat ialah Right of Men. Istilah “Right of Men” yang menggantikan istilah “Natural Right”. Istilah Right of Men ternyata tidak secara otomatis mengakomodasi pengertian yang mencakup Right of Women. Oleh karena itu, istilah Right of Men diganti dengan istilah Human Rights oleh Eleanor Roosevelt karena dipandang lebih netral dan universal. (Argarini, 2012)
Berikut ini pengertian HAM menurut beberapa pendapat para ahli :
·      Jan Materson
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang secara inhern melekat dalam diri manusia. Tanpa hak itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia.
·      John Locke
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.
·      TAP MPR NO. XVII/MPR/1998
Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia, dan masyarakat yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu gugat oleh siapapun.
·      UU No. 39 Tahun 1999
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
·      Koentjoro Poerbapranoto
Hak Asasi adalah hak yang bersifat asasi. Hak asasi merupakan hak yang dimiliki oleh manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga bersifat suci.
Menurut Pasal 1 Angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah  setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.



2.        Ciri – Ciri Hak Asasi Manusia
Berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri pokok HAM, yaitu:
a.       Hak asasi manusia tidak diberikan, dibeli ataupun diwarisi. Hak asasi manusia adalah bagian dari individu secara otomatis.
b.      Hak asasi manusia berlaku untuk semua individu, tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik, asal-usul sosial, dan bangsa.
c.       Hak asasi manusia tidak dapat dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak individu lain. Seorang individu tetap mempunyai hak asasi manusia walaupun sebuah membuat hukum yang tidak melindungi hak asasi manusia. (Argarini, 2012)

3.        Klasifikasi Pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :
a.     Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
·                     Pembunuhan massal (genosida)
Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama dengan cara melakukan tindakan kekerasan. (UUD No.26/2000 Tentang Pengadilan HAM).
·                     Kejahatan Kemanusiaan
Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berupa serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil seperti pengusiran penduduk secara paksa, pembunuhan,penyiksaan, perbudakkan dll.
b.    Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
·                     Pemukulan
·                     Penganiayaan
·                     Pencemaran nama baik
·                     Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
·                     Menghilangkan nyawa orang lain
(xpectancy.wordpress.com, 2014)

4.        Hambatan dan Tantangan Dalam Penegakan HAM pada Tahun 1959 – 1965?
Dalam masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), telah terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945 untuk kepentingan penguasa. Pada periode ini, sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin lahir sebagai reaksi atas penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini, kekuasaan terpusat dan berada di tangan Presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin, presiden melakukan tindakan inkonstitusional, baik pada tataran suprastruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur politik. Pada periode ini terjadi pemasungan terhadap hak sipil dan hak politik, seperti hak untuk berserikat berkumpul dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan. (Argarini, 2012)

5.        Peraturan Mengenai Penegakan HAM di Indonesia
Secara normatif, penegakkan HAM di Indonesia mengacu dalam peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan perundang-undangan RI terdapat empat bentuk hukum tertulis yang memuat aturan tentang HAM, yaitu.
a.       Undang-undang Dasar Negara (UUD 1945).
b.      Ketetapan MPR (TAP MPR).
c.       Undanag-undang.
d.      Peraturan pelaksanaan perundang-undangan, seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden, dan peraturan pelaksana lainnya.

Peraturan HAM dalam Ketetapan MPR dapat dilihat dalam TAP MPR Nomor XVII Tahun 1998 tentang Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional serta TAP MPR Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2000. Pengaturan HAM juga dapat dilihat dalam berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Undanag-undang dan peraturan pemerintah tersebut antara lain:
Undang-Undang
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tantang Kebebasan Menyatakan Pendapat
Undang-Undang Nomor 19 Tahhun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penghapusan Kerja secara Paksa.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO  Nomor 138 tentang Usia Minimum bagi pekerja.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM.
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 181 tahun 1998 tentang Pendirian Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Wanita.
Keputusan Presiden nomor 129 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 1998-2003 yang memuat rencana ratifikasi berbagai instrument hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-bangsa serta berbagai tindak lanjutnya.
Keppres Nomor 31 tahun 2001 tentang Pembentukkan Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Makasar.
Keputusan Presiden (Keppres) nomor 5 tahun 2001 tentang Pembentukkan Pengadilan Hak Asasi Manusia AdHoc pada Pengadilan Negeri Jakarta PUsat, yang diubah dengan Keppres nomor 96 tahun 2001.
(Argarini, 2012)

6.        Contoh Kasus Pelanggaran HAM yang Terjadi Pada Tahun 1959 – 1965
a.    Peristiwa di Maumere (1965 – 1966)
Peristiwa 1965-1966 terjadi di berbagai wilayah Indonesia termasuk Pantai Wairita Maumere. Bahwa saksi merupakan orang yang melihat adanya serangkaian peristiwa ditempat-tempat tertentu yang masih masuk dalam wilayah Maumere. Saksi diperintahkan oleh para pelaku untuk menggali lobang bagi korban-korban yang sudah dibunuh. Korban merupakan penduduk sipil berjumlah setidaknya 15 orang yang diidentifikasi oleh pelaku sebagai anggota, pengurus atau simpatisan PKI. Peristiwa pembunuhan yang terjadi di Polsek Gelinting, bahwa saksi memperkirakan korban meninggal mencapai  500 orang yang dibunuh oleh para pelaku. Pembunuhan di Kampung Flores Timur, bahwa saksi adalah orang yang melihat peristiwa telah terjadinya pembunuhan disatu tempat yang masuk kedalam wilayah Maumere. Orang–orang yang dibawa menggunakan kendaraan tersebut terikat tangannya dan kemudian diturunkan dari kendaraan dibawa menuju pinggir lubang yang telah disiapkan. Jumlah orang yang pada saat itu dibawa adalah sekitar 84 orang, dengan rincian 36 orang yang berasal dari penjara dan ada juga yang berasal dari penangkapan digunung-gunung. Didalam wilayah Maumere, juga terjadi peristiwa pembunuhan yang terjadi di Polsek Gelinting. Bahwa berdasarkan keterangan saksi, setidak-tidaknya terdapat korban lebih dari satu orang meninggal dunia. Bahwa saksi memperkirakan korban meninggal mencapai 500 orang, yang di bunuh oleh para pelaku. Para saksi yang memberikan keterangan adalah saksi-saksi yang mengalami langsung penyiksaan yang dilakukan oleh para pelaku di LP Pekambingan dalam masa penahanan mereka. Selain mengalami langsung penyiksaan, sebagian saksi juga melihat para pelaku melakukan penyiksaan terhadap para korban yang lain. Berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam penyelidikan di Sumatera Selatan diduga terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk penghilangan secara paksa terhadap para korban yang diduga terlibat kelompok Gerakan 30 September 1965 (G30S), dimulai sejak bulan Oktober 1965, di Sumatera Selatan, para Korban ada yang hilang di tengah perjalanan, di penahanan sementara sebelum dikirim ke penahanan akhir yaitu Kamp Penahanan Pulau Kemarau-Palembang, pada sekitar bulan Februari 1966 sampai pada tahun 1979. Tiap malam ada belasan orang yang meninggal, mayat-mayatnya dibuang ke sungai musi dalam keadaan diikat dengan kawat duri dan ditumpuk di atas besi setelah itu dibawa dengan kapal motor dan dibuang di sungai Musi. Saksi mengetahui hal ini karena saksi diperintahkan untuk membuang mayat. Berdasarkan keterangan saksi, bahwa hilangnya terhadap kurang lebih 30.000 orang di Sumatera Selatan tanpa proses hukum. (Dokumentasi Pelanggaran HAM di Indonesia, 2013)

b.   Peristiwa di LP Perkambingan Denpasar
LP Pekambingan merupakan sentral penahanan orang-orang yang dianggap terlibat dan mengetahui rencana peristiwa tanggal 1 Oktober 1965, LP ini berisi tahanan politik, kriminal, maupun militer bahkan perempuan.Blok B dikhususkan untuk perempuan. Sementara Blok A,C,D, itu untuk tahanan politik, kriminal, maupun eks militer. Sebagaimana keterangan para saksi bahwa LP Pekambingan ini merupakan pusat penahanan orang-orang yang diduga terlibat Peristiwa G 30 S, hal ini dapat dilihat dari keterangan saksi yang menunjuk LP Pekambingan. Para saksi yang memberikan keterangan dibawah adalah saksi-saksi yang mengalami langsung penyiksaan yang dilakukan oleh para pelaku di LP Pekambingan dalam masa penahanan mereka. Selain mengalami langsung penyiksaan, sebagian saksi juga melihat para pelaku melakukan penyiksaan terhadap para korban yang lain. Penyiksaan dalam peristiwa yang terjadi di LP Pekambingan, Denpasar, Bali terjadi dalam kurun waktu pada akhir tahun 1965 sampai dengan 1977. (Dokumentasi Pelanggaran HAM di Indonesia, 2013)

c.    Kasus Tragedi Berdarah di Indonesia
Setelah terjadinya prahara 30 September 1965, TNI AD di bawah pimpinan Soeharto, segera melakukan penumpasan terhadap mereka yang tuduh sebagai anggota PKI. Pihak yang dituduh bertanggungjawab dalam peristiwa 30 September. Dalam peristiwa ini, beragam bentuk pelanggaran hak asasi manusia terjadi, dari mulai penculikan, penghilangan orang secara paksa, kerja paksa, penghukuman tanpa pengadilan, dan pembantaian massal dimana korban sebagian besar merupakan anggota PKI, atau ormas yang dianggap berafiliasi dengannya seperti SOBSI, BTI, Gerwani, PR, Lekra, dll. Namun demikian, pada kenyataannya di lapangan, tidak hanya mereka yang berafiliasi dengan PKI, masyarakat pada umumnya juga banyak yang menjadi korban operasi ini. Peristiwa ini terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. (Dokumentasi Pelanggaran HAM di Indonesia, 2013)

d.   Kasus Paraku / PGRS 1960 -1967
Peristiwa ini bermula pada tahun 1960an dimana Presiden Soekarno menyatakan konfrontasi tehadap bonekanya Inggris yaitu Malaysia. Kemudian soekarno menugaskan Oei Tjoe Tat untuk mengalang sukarelawan /milisi Thionghoa di perbatasan Kalimantan Barat dan Serawak, Sukarelawan yang tergabung kebanyakan dari etnis Thionghoa, sebelumnya pembentukan ini ada 4 kelompok yang terdiri dari PKI, Sukarelawan, TNKU (PARAKU), serta 12 pemuda Thionghoa pendukung partai Komunis Sarawak (PGRS). Kemudian PGRS dan PARAKU menyatu menjadi PGRS/PARAKU, selanjutnya mereka menyerang lapangan udara di Singkawang dan Sanggau Ledo, dan berhasil merebut 150 senjata dari militer. TNI kemudian menyapu bersih mereka dengan operasi Sapu I, Sapu II, Sapu III. Operasi militer ini untuk menumpas PGRS/PARAKU dan PKI yang tergabung dalam etnis Thionghoa di Kalimantan Barat, dan akibatnya orang-orang Thionghoa yang tidak tahu menahu permasalahan politik di Kalimantan Barat banyak juga yang menjadi korban akan peristiwa ini. Bahkan beberapa pihak menengarai dalam peristiwa ini juga terjadi pembersihan etnis (ethnic cleansing), terhadap etnis Tionghoa di pedalaman Kalimantan. (Dokumentasi Pelanggaran HAM di Indonesia, 2013)


e.    Kasus – Kasus di Papua
Pada tahun 1960an, kasus-kasus di Papua telah memakan ribuan korban jiwa. Peristiwa ini terjadi akibat Operasi instensif yang dilakukan TNI untuk menghadapi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sebagian lagi berkaitan dengan masalah penguasaan sumber daya alam antar perusahaan tambang internasional, aparat pemerintah menghadapi warga sipil. Perilaku Aparat militer Indonesia terhadap penduduk lokal di Papua dinilai menciderai hak asasi manusia, walupun dengan alasan pengendalian keamanan dan separatisme. Dalam kasus Abepura misalnya, Kesatuan Brimob Polda Papua menangkap dan melakukan penyiksaan terhadap mahasiswa yang dianggap mendukung penyerangan terhadap Mapolsek Abepura. (Dokumentasi Pelanggaran HAM di Indonesia, 2013)

f.     Peristiwa pemberontakan PKI
Gerakan pemberontakan PKI pada tanggal 30 September 1965 atau dikenal dengan Gerakan 30 September (G30 S/PKI) merupakan peristiwa Partai Komunis Indonesia (PKI) yang  pada saat itu akan melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Soekarno dan berencana menjadikan Indonesia menjadi negara komunis. Kudeta yang akan dilakukan PKI saat itu memakan korban 7 orang jendral dikalangan angkatan darat di Jakarta dan dua orang di Yogyakarta. Peristiwa 1965, Sebuah Tragedi kemanusiaan dalam sejarah bangsa, kita tidak  pernah tahu bahwa sesungguhnya peristiwa 1965 tidak hanya menimbulkan korban dari kalangan Angkatan Darat (AD) tapi juga ribuan rakyat sipil yang tidak tahu menahu mengenai peristiwa tersebut karena dianggap terkait dengan PKI. Mereka yang haknya dirampas, dianiaya, dilecehkan, diperkosa, di buang, diasingkan, di anggap bukan manusia, dan berbagai macam  perlakuan yang dapat disebut sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM). (Kumalasari, 2013)

g.    Peristiwa Gandhi Medan
Bahwa saksi menerangkan di Gandhi adanya penganiayaan dalam bentuk pencambukan, tendangan, pukulan menggunakan pentungan, setrum, dan lain-lain sehingga ada beberapa tahanan yang mati akibat siksaan. Hal ini terjadi baik di Gandhi maupun di Penjara Suka Mulia. (Dokumentasi Pelanggaran HAM di Indonesia, 2013)

h.   Peristiwa Pulau Buru Maluku (1965)
Berdasarkan keterangan para saksi yang pernah di penjara di Pulau Buru akibat peristiwa 1965, saksi dipekerjakan di Kantor Koramil selama 2 tahun 2 bulan, ada juga saksi yang lainnya dipekerjakan membuat waduk Desa Padasan, diwilayah Tuban, kemudian saksi dipindahkan dan dipekerjakan di Gudang Sawung Galing pabrik semen Gresik selama 4 bulan 10 hari tanpa diberi gaji. Setelah bebas, saksi dikenakan wajib lapor dan harus menyerahkan barang-barang yang diminta Pihak koramil serta disuruh melakukan pekerjaan tanpa adagaji. Berdasarkan keterangan saksi, Saksi dipekerjakan di kompleks perumahan CPM gilingan selama 1 tahun tanpa ada gaji, diwajibkan mengikuti apel seminggu 3 kali dikecamatan dan Koramil, dan juga dipekerjakan di kecamatan tanpa ada gaji, istri saksi juga disuruh melayani orang yang dianggap sebagai pemenang, tidak harus tentara. Hampir 90 persen semua istri tahanan di minta untuk melayani Berdasarkan keterangan saksi, Saksi dipekerjakan di Desa kroyo, kec. Karang Malang, Sragen untuk membantu mengerjakan sawah penduduk tanpa ada gaji selama 6 bulan dengan penjagaan dari Koramil. Saksidipekerjaan di Toro untuk mengerjakan sambungan bendungan selama 3 bulan. Setelah itu dipindahkan untuk memperbaiki jalan selama 1 bulan. Saksi dipekerjaan membuat bendungan Karang Anom Sukadono selama 6 bulan tanpa dibayar. Saksi dipekerjakan mencari pasir antara Sumber Lawang – Purwodadi selama 3 bulan. Saksi dipekerjakan membuat bata. Setiap pagi dibangunkan untuk bekerja bakti mencari kayu bakar, setelah itu baru boleh mandi disungai.  Perbuatan tersebut dapat dikategorikan kerja paksa, karena setiap pagi jam 7 s/d jam 18.00 sekitar 50 orang secara aplusan dikirim selama seminggu untuk bekerja di ladang, belakang Pengadilan Negeri Medan, dan tidak itu saja saksi melakukan pekerjaan menggali parit untuk perumahan projek septi tank/WC yang saksi tidak tahu projek siapa dan diatur oleh Komandan Setempat Letnan II Ismanu, tidak dibayar hanya diberi nasi bungkus. (Dokumentasi Pelanggaran HAM di Indonesia, 2013)

i.      Peristiwa Tanah Karo
Tokoh mahasiswa Martin Saragih, sejak kembali dari Kongres CGMI, dijemput POMDAM di Medan pada awal Oktober 1965 juga hilang. Tokoh Gerwani Rumiati, Anuar Jampak, Ranos Sembiring hilang. Sedikitnya 7 orang, ditembak dengan menggunakan senjata pada pertengahan 1966 di Lau Gerbong, Tanah karo, Sumatera Utara. Pada Februari 1966 malam, petugas mengambil 3 orang teman satu tempat tahanan saksi yaitu M. Noor, Sekretaris PKI CSS (Comite SubSeksi) PKI labuhan Deli; Effendi, anak kandung M. Noor (Sekretaris PKI CSS (Comite Sub Seksi PKI Labuhan Deli), Sekretaris Pemuda Rakyat cabang Labuhan Deli; dan, Efendi, Sekretaris Lekra, Labuhan Deli. Ketiganya tidak pernah kembali lagi ke rumah tahanan. Saksi mendengar ketiganya mati tertembak. Tempat penahanan itu adalah sebuah rumah di dekat penjara Labuhan Deli yang sekarang dikenal sebagai Simpang Kantor. (Dokumentasi Pelanggaran HAM di Indonesia, 2013)

j.     Kasus Menghilangnya Warga Sipil di Kebar, Manokwari, Papua
Kasus penghilangan paksa terjadi pada tanggal 26 juli 1965 serta 28 Juli 1965 di Kecamatan Kebar, Manokwari, Papua serta di Manokwari, Papua. Korban diperkirakan berjumlah 23 orang penduduk sipil. (Dokumentasi Pelanggaran HAM di Indonesia, 2013)

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain. Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM. Penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat di masa lalu Menurut UU No. 26/2000,  proses terbentuknya pengadilan terdiri dari tiga bagian yang ideal. Pertama, Komnas HAM melakukan penyelidikan berdasarkan pengaduan dari kelompok korban atau kelompok masyarakat tentang satu kasus yang terjadi di masa lalu. Komnas HAM kemudian membentuk satu KPP HAM untuk melakukan penyelidikan dan kemudian mengeluarkan rekomendasi. Jika dalam rekomendasi tersebut terdapat bukti terhadap dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida, maka akan dilanjutkan pada tahap penuntutan oleh Kejaksaan Agung. Kedua, DPR kemudian membahas hasil penyelidikan dari Komnas HAM dan kemudian membuat rekomendasi kepada presiden untuk membentuk pengadilan Ham ad-hoc. Ketiga, Presiden kemudian mengeluarkan keputusan presiden untuk pembentukan satu  pengadilan HAM ad-hoc.



DAFTAR PUSTAKA





Drs. C.T.R.Kansil,SH. 1992. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta : Erlangga

Roosa, John, 2008.  Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto.
Hasta Mitra. Jakarta